Senin, 16 Januari 2012

HARI KEMERDEKAAN, AJANG HURA-HURA BELAKA

Pancaran sang surya mulai terlihat, secara lembut merangkak keluar dari singga sana kerajaannya hingga menjulang tinggi. Menerobos heningnya pagi desa Kepuk yang penuh dengan rerumahan, suara indah ayam jantan menyambut terbangunnya para penduduk. Dinginnya embun meraba kulit para penduduk, gemericik air terdengar dari pojokan rumah bagian belakang seakan menggambarkan seseorang sedang wudlu`.

Desa kepuk menjelang pagi, setiap penduduk menjalankan aktifitas masing-masing yang setiap hari berlangsung sesuai kondisi. Terutama orang tua, keseharian cangkul diatas pundak dengan mengayom dibawah caping bundar agak compang camping berteman sabit ditelapak tangan besar penuh kekuatan. Tapi beda dengan hari ini, ketika hari besar menyambut seakan mengisyaratkan senyum kegembiraan menebar keseluruh penjuru desa Kepuk. Sampai-sampai para penduduk menunda semua aktifitas yang datang pada hari ini.
“Su... tidakkah kamu berangkat keladang, Su…?,” tanya Jemani sambil penasaran. Beberapa selang setelah selesai sholat subuh dan lekas

beres-beres kandang sapi yang penuh akan telek-telek hangat campur gemericik air seni seekor sapi jantan juga betina.
“Kulo mboten kesah lek Jem…!,” jawab Suwarno dengan logat jawanya yang kental, meski berada dalam keadaan tergesa-gesa Suwarno menyempatkan menoleh ke Jemani. Walaupun Suwarno orangnya agak bodoh, tetapi penduduk desa Kepuk mengenal ia adalah seseorang dengan sopan santun, keramahan, juga bermoral yang lebih dibanding orang-orang sekitar lingkungan rumah Suwarno sendiri....
Berada didesa Kepuk tentunya Suwarno tidak sendirian, Suwarno bersama keluarga. Terdiri dari satu istri dan dua anak, satu laki-laki, satu perempuan. Selama tinggal didesa Kepuk bersama keluarga Suwarno sudah mampu memiliki banyak tetangga juga banyak teman. Dengan alasan karena keluarga Suwarno sangat pandai dalam beradaptasi dengan lingkungan walaupun keluarga tersebut terkenal “keluarga rendah hati”.
Sarkonah, itulah nama seseorang wanita yang selalu berada disamping dan menemani Suwarno untuk selama-lamanya. Disamping istri setia, beberapa tahun setelah menikah mereka dikaruniai dua anak dengan nama Sukono dan Sakini yang telah termaktub tadi.
“Suk… kamu tidak ikut Bapakmu?,” ibunya meminta penjelasan kepada Sukono yang hanya berdiam diri dirumah. “Males Bu, mana ada coba`, hari kemerdekaan kok dirayakan dengan banyak perlombaan. Seharusnyakan kita bersama merenungi semua perjuangan para pahlawan terdahulu. Ngga` malah hura-hura sepertui itu!,” jawab Sukono penuh ke-PD-an dengan penjelasan yang dianggap paling benar sendiri. “Ih…Wau… gayanya!,” sahut Sakini adik dari Sukono dengan penuh lenggak-lenggok bibir yang menandakan pengejekan.
Kembali keperayaan tujuh belasan, suami Sarkonah tolah toleh sambil melangkahkan kaki perlahan demi perlahan. Terdengar gemuruh sorakan kegembiraan dari kanan kiri Suwarno, mulai dari Timur ke Barat Selatan ke Utara tak terhenti-henti.
Tiba-tiba yang tadinya menolak untuk ikut Bapak jalan-jalan menelusuri desa Kepuk, muncul dari arah belakang dengan lantunan suara keras memanggil-manggil Bapaknya. “Bapak tunggu, tunggu aku Bapak…!,” teriakan Sukono terdengar sayup-sayup juga terputus-putus, sebab dalam keadaan berlari dan nafas tersendat-sendat layaknya anjing lari terbirit-birit seketika terhenti.
Dengan kondisi semakin lama semakin mendekat suara Sukonopun terdengar lebih jelas oleh Bapaknya. Meskipun seperti itu Bapaknya tidak menghiraukan akan hal itu, dengan alasan terlalu hanyutnya ia dengan suara-suara juga teriakan-teriakan kegembiraan dikanan kirinya sejak tadi.
“Bapak…tunggu…!,” sekali lagi Sukono berteriak, kali ini teriakannya penuh kesemangatan dan sangat keras penuh ketenagaan. Mungkin karena sangking kerasnya suara teriakan Sukono, sampai-sampai semua orang beserta perlombaannya terhenti seketika setelah mendengar teriakan tersebut. Yang lebih serunya lagi seseorang yang sudah hampir finish diatas tiang perlombaan panjat pinang terlorot lagi hingga kedasar tanah, sebab terpelongok akan suara menggelegar dari arah barat laut itu.
Seketika itu pula Bapaknya langsung mendengar jelas dan buru-buru menghampiri Sukono dengan tempo langkah tinggi. Dengan muka segelap malam Suwarno tiba dihadapan Sukono, Sukonopun gemetar seakan tidak kuat lagi menopang berat badan sendiri.
“Lanjutkan…!,” celetuk Sukono powerfull tepat dihadapan Bapak. Sehingga menjadikan Bapak yang tadinya akan marah-marah sekuat tenaga terhentak, dan tidak jadi marah-marah. Sepatah katapun tak jadi keluar dari mulut Suwarno itu sendiri, akibat hentakan kata-kata yang terlontar dari mulut anaknya.
Hal itu membuat keduanya damai, hingga bisa berdampingan untuk melanjutkan perjalanan dalam mengarungi desa Kepuk dengan hati berbungah-bungah. “Kon…kamu bisa bayangkan tidak, mentang-mentang sudah merdeka kita seenaknya sendiri. Hampir kita tidak ingat akan susahnya perjuangan pahlawan dengan tanpa memikirkan harta, jiwa, raga maupun semuanya yang dikorbankan,” terang Suwarno kepada anaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Pak! Lihat perlombaan panjat pinangnya, sudah banyak menghambur-hamburkan air bersih sembarangan, tambah diujung banyak macam makanan, uang, dsb(dan saya bingung). Bukannya tuh malah lebih bermanfa`at kalau dikasihkan pada orang yang tidak mampu,” balas Sukono sambil menudingkan telunjuknya pada realita dilapangan.
Keduanya saling memberikan komentar mengenai para penduduk desa Kepuk yang merayakan hari kemerdekaan (tujuh belasan) penuh dengan kehura-huraan belaka. Tepat sejauh kurang lebih 2 meter terdapat tempat peristirahatan yang sejuk, damai, penuh irama musik kicauan burung saling bersahut-sahutan antara satu dengan lainnya yang sangat mengasikan.
Mulailah sorotan mata tercondong pada indahnya tempat tersebut. “Bapak…istirahat dulu yuk!,” saran Sukono sambil menarik-narik tangan kanan Bapaknya. “Za…za…tapi sebentar, setelah itu kita pulang,” ujar Bapak Sukono memberikan pengertian kepada anak belianya. Tanpa banyak kata langsung deh keduanya berhenti sejenak untuk beristirahat.
Beberapa detik, menit sudah terlewati secara terlena tanpa adanya batasan waktu, mungkin sangking terbawa hanyutnya dalam topik pembicaraan yang semakin panas. Seharian penuh, tenaga habis buat berputar-putar mengarungi desa Kepuk.
Waktu menunjukkan semakin siang, mataharipun mulai turun dari persinggahannya. Sukono serta Bapaknya bangun dari duduk kemudian bergegas untuk pulang menjalankan kewajiban maupun aktifitas lain. Tidak tahunya sesampainya ditengah perjalanan keduanya mengalami satu peristiwa lagi yang agak menusuk, menyentuh, dan memberatkan hati.
Orang tua duduk bersila ditepi jalan, dengan pakaian layaknya kain elap belaka. Tubuh renta dengan sekuat tenaga mengangkat tangan keatas, sambil berkata, “Bapak, Ibu. Kami belum makan selama tiga hari. Tolong kami Bapak, Ibu…!”.
Langkah menjadi pelan, sedang pandangan keempat mata terpanah terhadap orang tua renta diseberang jalan tersebut. Semakin jauh semakin jauh keempat mata masih terpaku ke kakek tua renta tersebut, hingga satu hal menyingsalkan kaki kedua laki-laki satu keluarga itu lalu berubah pandangan.
Meski kakek-kakek diseberang tidak terlihat lagi, akan tetapi bayang-bayang raut wajah si kakek tergambar jelas didepan kening. Baik sketsa tubuh, karakter, banyak kain yang dipakai, gimana keadaanya terlihat jelas. Sampai dirumahpun keduanya tidak cukup hati untuk melupakan kejadian kali itu, yang membuat selalu teringat adalah ketika dalam keadaan bengong sendiri. Baik Bapak maupun anaknya selalu teringat dengan hal itu.
Suatu ketika Sukono berdiam dan melamuni kejadian yang telah lampau itu disebelah rumah kesayangannya sambil menganalisa. “Oh Tuhan…ampunilah dosa kami semua, sebab menjadikan hari yang seharusnya jadi tempat pengingat para pejuang, akhirnya lenyap akan hal-hal penuh dengan kehura-huraan ini!,” gerutu Sukono dalam lubuk hati yang paling dalam.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar